FINDING AIDS ARSIP

Ragam Finding Aids

Menurut Kathleen Oakes dan Sigrid McCausland, finding aids terbagi menjadi dua, yaitu finding aids yang dimiliki oleh lembaga kearsipan dan lembaga non-kearsipan (dengan unit kearsipan sebagai unit fasilitatif) atau biasa disebut lembaga pencipta (creating agency). Meskipun terpisah, namun terdapat saling ketekaitan. Maka, apabila lembaga pencipta (creating agency) akan menyerahkan arsipnya kepada lembaga kearsipan, harus pula disertai dengan finding aids-nya. Hal ini agar pengelolaan arsip di lembaga kearsipan dapat dengan mudah dilakukan dan sesuai dengan prinsip original order.

Adapun finding aids yang disiapkan oleh lembaga pencipta untuk mengelola arsipnya, yaitu:

  1. Registers atau buku agenda, digunakan untuk menyimpan informasi dari masing-masing dokumen yang diterima, dikirim atau diciptakan di suatu institusi. Informasi yang tersimpan dalam buku agenda disusun secara kronologis dan numerik.
  2. Index, berkebalikan dengan buku agenda, dalam index, judul dan isi dokumen disusun secara alpabetis.
  3. Filing system descriptions, memuat daftar klasifikasi pemberkasan dan kode-kodenya, gambaran sistem pemberkasan, serta menjelaskan masing-masing kode dan simbol yang digunakan. Maka, ini menjadi semacam buku pedoman pola klasifikasi yang umumnya ditemui di instansi-instansi pemerintahan.
  4. Thesauri, digunakan untuk mengklasifikasi judul dokumen berdasarkan kata kunci.

Dari masing-masing finding aids tersebut, pada umumnya kearsipan Indonesia hanya dikenal buku agenda, kartu indeks dan buku pedoman pola klasifikasi. Kemudian, untuk finding aids yang digunakan di lembaga kearsipan antara lain:

  1. Accession Registers, atau daftar akuisisi (untuk lebih mudahnya, istilah accession dengan acquisition disamakan maknanya). Daftar ini memuat deksripsi umum dari arsip yang diakuisisi, seperti nomor identifikasi, deskripsi isi informasi, dan nama lembaga pencipta.
  2. Descriptive Inventories (also known as Collection Guides), memuat informasi tentang konteks dari masing-masing kelompok arsip, jenis dan jumlah koleksi yang dimiliki lembaga kearsipan. Jadi, dalam sebuah descriptive inventories tidak hanya memuat satu series arsip saja, tetapi dapat memuat informasi dari beberapa series arsip dari satu lembaga pencipta. Selain itu, finding aids ini juga dilengkapi dengan sejarah administratif dari lembaga penciptanya. Adapun hal-hal yang dimuat dalam findings aids ini antara lain: pendahuluan, daftar isi, sejarah administratif, deskripsi series, daftar per item, daftar lokasi simpan dan index.
  3. Brigding Aids, disebut demikian sebab ia menjadi jembatan yang menghubungkan gap antara kebutuhan peneliti dengan sistem dari finding aids yang diterapkan di lembaga kearsipan berdasarkan pada prinsip asal mula. Sebagai contoh, apabila seorang peneliti ingin mencari arsip tentang industri gula, maka ia akan diberikan daftar arsip tentang industri gula yang didalamnya termuat lembaga atau personal yang terlibat dalam industri gula. Jenis finding aids ini akan menjadi dasar bagi peng-indeks-an karena menggunakan kata kunci atau tema tertentu sesuai dengan arsip yang dikelola oleh lembaga kearsipan.
  4. Guides to Holdings, memuat abstrak atau ringkasan dari informasi yang termuat dalam khasanah arsip dan memberikan pengenalan singkat tentang masing-masing khasanah.
  5. Reports of Holdings, memuat kumpulan informasi dari depo-depo arsip yang berbeda tentang khasanah yang dikelola. Tujuannya adalah untuk mempublikasikan ringkasan informasi tentang perbedaan masing-masing depo beserta khasanah arsipnya kepada para peneliti dan pemerhati kearsipan.
  6. Indexes, meskipun sangat membantu tetapi juga sangat membuang waktu pengguna. Indeks dalam hal ini merupakan sarana pelengkap dari finding aids lainnya seperti indexes to descriptive inventories, guides to holdings dan reports of holdings. Apabila pengelola arsip akan meng-indeks masing-masing arsip, tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan sangat kompleks. Meski demikian, indeks dalam pengelolaan arsip fotografi menjadi salah satu kegiatan untuk membuat sebuah finding aids.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah keseluruhan finding aids tidak sekedar sebagai sarana temu kembali, tetapi juga sebagai sarana kontrol atas arsip yang dikelola masing-masing lembaga. Beberapa sarana temu kembali atau finding aids yang dijelaskan di atas tentu saja bersifat manual. Dengan perkembangan teknologi komputasi yang kian deras, pencarian informasi di beberapa lembaga kearsipan menjadi lebih dimudahkan. Meski demikian, findings aids manual tetap diperlukan meski secara kuantitas tidak begitu besar, serta menjadi basis bagi pengembangan sistem komputasi sarana temu kembali arsip. Selain itu, diperlukan evaluasi yang berkesinambungan atas efektivitas dan efisiensi dari finding aids yang diterapkan di masing-masing lembaga, baik lembaga kearsipan maupun lembaga pencipta. Hal ini agar kinerja manajemen kearsipan menjadi lebih terkontrol dan semakin baik.

Sumber: https://gerakansadararsip.wordpress.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *